Sabtu, 29 Oktober 2016

Human Security di ASEAN



I.                   Pendahuluan
         Persoalan mengenai Human Security menjadi masalah yang sekarang banyak dibicarakan bukan hanya dalam lingkup domestik tetapi juga oleh dunia internasional. Masalah ini juga kemudian menjadi salah satu pilar penting dari 3 pilar ASEAN Community yaitu Ekonomi, Sosial-Budaya, dan Keamanan. Seperti halnya pada bidang ekonomi yang berfokus pada usaha untuk mempersempit kesenjangan pembangunan di kawasan ASEAN dengan membantu anggota baru di bidang kemiskinan, buta huruf , dan kesehatan. Sedangkan dalam bidang keamanan sendiri peran ASEAN lebih berfokus pada  target-target masalah keamanan manusia, seperti promosi hak asasi manusia, pencegahan konflik, dan rekonstruksi pasca konflik. ASEAN akan terus menjadi media penting untuk membentuk pandangan umum dan mengidentifikasi bidang kerjasama yang diperlukan untuk mencapai keamanan manusia di kawasan Asia Tenggara.
         Sejak tahun 1990-an ketika ASEAN mencapai keanggotaannya yang kesepuluh, perhatian ASEAN kemudian mulai lebih banyak kepada usaha untuk memperbaiki sumber daya manusia akibat konflik, kejahatan transnasional, dan pelanggaran hak asasi manusia di Asia Tenggara sendiri. Di satu sisi, upaya yang sedang berlangsung untuk membentuk suatu badan HAM ASEAN yang melambangkan pencapaian ASEAN yang memusatkan perhatian pada pembangunan rakyat. Namun di sisi lain, ASEAN menuai banyak kritikan dari dunia internasional karena hanya sedikit mengambil tindakan nyata pada konflik dan situasi yang terjadi di Myanmar, di mana pelanggaran HAM banyak terjadi. 
         Seperti halnya banyak negara di wilayah lain, sebagian besar negara di Asia Tenggara telah menuai kritik atas pelanggaran hak asasi manusianya, meskipun bervariasi dalam lingkup dan jenis, hal ini jelas merupakan ancaman terhadap keamanan manusia. Pelanggaran ini terjadi dalam konteks lintas batas serta internal. Kurangnya forum umum untuk membahas isu-isu hak asasi manusia serta mesin penegakan hukum yang kuat untuk menangani pelanggaran telah menjadi kendala utama untuk memajukan hak asasi manusia di Asia Tenggara. Oleh karena itu, masukan banyak diterima ASEAN pada tahun 2007 untuk membentuk suatu badan hak asasi manusia di ASEAN Charter. Upaya ini konsisten dengan penekanan ASEAN pada pendekatan yang berpusat pada rakyat. Namun, dalam konteks ASEAN, apakah itu benar-benar dapat mengatasi situasi hak asasi manusia mengingat sebuah istilah orang-orang yang berorientasi nilai dalam arti yang sebenarnya.
         Mekanisme HAM sudah lama terlambat di Asia Tenggara, di mana kasus berlimpah terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan upaya keamanan diserukan oleh orang-orang setiap hari. Sementara pemerintah di Asia Tenggara memiliki pandangan berbeda mengenai hak asasi manusia. Upaya untuk membentuk badan hak asasi manusia sendiri tujuannya adalah untuk tidak menilai catatan hak asasi manusia dari pemerintah, melainkan untuk menganalisis proses regional dalam melindungi dan mempromosikan hak asasi manusia untuk mencapai tujuan akhir dari keamanan manusia itu sendiri.
 
II.                Pembahasan
 
A.    Pengembangan Agenda Hak Asasi Manusia di ASEAN
          Negara-negara anggota ASEAN (Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) mengambil bagian di Pertemuan Regional pada bulan April untuk Asia dari Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia di Bangkok dan pada bulan Juni dalam  Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia di Wina . Dalam Komunikasi Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN ke-26 di Singapura pada bulan Juli 1993 , menteri luar negeri dari negara-negara anggota mengumumkan pandangan kolektif mereka mengenai hak asasi manusia. Mereka menegaskan komitmen ASEAN dan menghormati hak asasi manusia dan kebebasan fundamental sebagaimana diatur dalam Deklarasi Wina, menyambut konsensus internasional yang dicapai selama Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia. Mereka menekankan bahwa "ASEAN mengakui bahwa hak asasi manusia saling terkait dan tak terpisahkan”.
          ASEAN setuju bahwa harus mempertimbangkan pembentukan mekanisme regional yang sesuai pada HAM. 12 anggota negara menekankan bahwa promosi dan perlindungan hak asasi manusia tidak boleh dipolitisasi. Namun, di tahun-tahun setelahnya tidak ada usulan konkret dibuat dan isu hak asasi manusia menghilang. Kerjasama ASEAN berfokus pada isu-isu lain setelah penataan kembali ASEAN dengan anggota baru yaitu Vietnam (1995), Laos, Myanmar (1997), dan Kamboja (1999). Termasuk Chalermpalanupap, Asisten Khusus Sekretaris Jendral ASEAN merasa bahwa hilangnya pernyataan tentang hak asasi manusia di ASEAN adalah sebagian karena peningkatan keragaman politik menyusul masuknya anggota baru. Selain itu, tahun 1997 Krisis keuangan menciptakan tantangan baru dan serius bagi daerah. Mendesak masalah untuk ASEAN pada waktu itu mendirikan kembali stabilitas ekonomi dan mempersempit kesenjangan pembangunan di kawasan ini.
          Pada tahun 1998, bertepatan dengan peringatan ulang tahun ke 50 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, ASEAN mengusulkan program yang membahas beberapa isu tentang HAM dalam rencana aksi Hanoi, sebuah rencana aksi lima tahun memanjang 1999-2004. Komitmen ASEAN mempromosikan HAM dan langkah-langkah untuk membangun hak mekanisme manusia yang dibuat dalam dokumen kebijakan Vientiane Action Programme (VAP) yang diadopsi pada tahun 2004, rencana induk tujuh tahun pertama untuk membangun Komunitas ASEAN. Dalam VAP, kerjasama tentang HAM adalah bagian dari perkembangan politik di Komunitas Politik-Keamanan ASEAN.
          VAP termasuk merumuskan dan mengadopsi nota kesepahaman (MOU) untuk membangun jaringan antara hak asasi manusia yang ada dengan mekanisme yaitu membangun jaringan kerjasama antar nasional dan mekanisme HAM di Indonesia,Malaysia, Filipina, dan Thailand yaitu mempromosikan pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia untuk perlindungan dan promosi hak-hak pekerja migran dan membangun komisi ASEAN untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak.
          Ada perubahan yang bisa dimengerti dalam sikap ASEAN terhadap tindakan untuk meningkatkan hak asasi manusia. Barulah pada 2007 yang komitmen ASEAN untuk mempromosikan dan melindungi HAM terbukti melalui penciptaan Piagam ASEAN. Selain pada Pasal 14, yang menegaskan pembentukan hak asasi manusia.  Piagam membahas promosi dan perlindungan hak asasi manusia di bagian yang berbeda seperti tujuan, dan prinsip-prinsipnya.
          ASEAN telah mulai untuk memulai sebuah rencana tindakan melalui fungsional kerjasama untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak perempuan, anak-anak, dan pekerja migran. Pada KTT ke-12 ASEAN di Cebu , Filipina pada Januari 2007, para pemimpin sepuluh negara anggota ASEAN menandatangani Deklarasi ASEAN tentang Perlindungan dan Hak-Hak Migran. Perjanjian ini menyebabkan penciptaan Komite ASEAN pada Pelaksanaan Deklarasi Cebu pada tahun 2007 selama ASEAN Ministerial Meeting ( AMM ) ke-41 di Singapore. Salah satu tugas penting yang diberikan adalah mengembangkan instrumen hukum ASEAN untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak pekerja migran.
          Demikian pula , Komite ASEAN pada Perempuan telah bekerja untuk membangun Komisi ASEAN di Promosi dan Perlindungan Hak Perempuan dan Anak. Penyusunan persyaratan untuk komisi yang diusulkan dimulai pada tahun 2009.  Proses ini memiliki keuntungan menyediakan platform bersama melalui Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Konvensi Hak Anak ( CRC ), yang semua sepuluh ASEAN negara-negara anggota merupakan pihak. Pada tahun 2009, banyak kemajuan telah dibuat untuk meluncurkan sebuah badan HAM ASEAN .
 
B.     ASEAN dan Manajemen Isu-isu Transnasional
Kerjasama ASEAN dalam menghadapi tantangan isu-isu transnasional telah menjadi bagian dari agenda regional / wilayah sejak saat itu didirikan. Kejahatan transnasional, trafficking (perdagangan), dan aksi-aksi terorisme bukanlah hal yang baru lagi di wilayah tersebut. Oleh karena itu, salah satu prinsip mendasar dari ASEAN yang tertuang dalam Deklarasi Bangkok termasuk “ Memperkuat dasar bagi masyarakat yang makmur dan damai dalam negara-negara Asia Tenggara (Deklarasi Bangkok, 1967).  Tantangan isu-isu transnasional merupakan bagian dari agenda dalam ASEAN Charter. Salah satu tujuan dicetuskannya ASEAN Charter adalah “ untuk merespon secara aktif, sesuai dengan prinsip dari keamanan yang komprehensif, untuk segala bentuk ancaman, kejahatan transnasional dan tantangan lintas batas” (ASEAN 2007 : Pasal 1-8).  Kerjasama dalam konteks hukum internasional adalah cara terbaik untuk menanggulangi setiap jenis kejahatan transnasional. Hasil dari kerjasama antar negara-negara ASEAN dapat menjadi keberhasilan tersendiri bagi negara anggota ASEAN.
a)      Tantangan ASEAN terhadap isu-isu transnasional dan konflik antar negara
ASEAN mulai mengatasi kejahatan transnasional secara kooperatif pada awal tahun 1970 yang ditandai dengan kenaikan kejahatan narkoba di wilayah tersebut. Deklarasi ASEAN Concord tahun 1976[1] yang mengakui perlunya “ intensifikasi kerjasama antara negara-negara anggota dan dengan badan-badan internasional untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan narkoba dan perdagangan ilegal narkoba”. Sejak dulu, ASEAN telah terlibat dalam upaya menciptakan wilayah ASEAN yang bebas narkoba. Seiring berjalannya waktu, ruang lingkup dari isu-isu transnasional sendiri diperluas dan mencakup beberapa isu-isu lainnya seperti terorisme, jenis baru dari penyalahgunaan narkoba dan perdagangan, money laundering atau kegiatan pencucian uang dan munculnya arms smuggling atau biasa disebut dengan penyelundupan senjata. Aksi-aksi teroris telah menjadi perhatian utama bagi beberapa negara khususnya di Indonesia sendiri serta Thailand dan Filipina.
Munculnya isu-isu transnasional yang semakin beragam membuat ASEAN merencanakan beberapa program untuk menangani masalah tersebut. Adanya Informal Summits atau KTT pertama di tahun 1996 dan yang kedua pada tahun 1997 , kedua pertemuan tersebut lebih membahas mengenai kerjasama-kerjasama regional yang lebih ditekankan untuk menangani isu transnasional. Hasil dari pertemuan KTT yang kedua adalah direncanakannya ASEAN Vision 2020 dimana dibentuknya ASEAN Community tahun 2020 yang memiliki 3 pilar yaitu ASEAN Political Security Community (ASPC), ASEAN Economic Community (AEC) dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC). Pada KTT ketiga, di Manila pada November 1999, negara-negara anggotamenegaskan kembali komitmennya untuk bekerjasama dalam menangani isu transnasional, seperti yang berhubungan dengan Lingkungan, Transboundary haze, kejahatan transnasional, narkotika, imigrasi dan masalah hukum lainnya.
Negara-negara anggota ASEAN juga menandatangani Deklarasi tentang Kejahatan Transnasional di tahun 1997. Deklarasi tersebut berbasis pada kerangka kerja dalam kerjasama regional untuk memerangi kejahatan transnasional. Sejak itu, pertemuan rutin untuk membahas mengenai masalah tersebut terus diselenggarakan, seperti  ASEAN Ministers Meeting on Transnational Crime dan Senior Officials Meeting on Transnasional Crime , yang selanjutnya diakhiri dengan Program Kerja untuk mengimplementasikan ASEAN Plan of Action yang diadopsi di tahun 2002 pada Annual Senior Officials Meeting on Transnasional Crime. Terdapat 8 area prioritas yang termasuk dalam program kerja,
seperti : Perdagangan obat terlarang, Human Trafficking, arms smuggling, Sea-piracy (Pembajakan), pencucian uang, terorisme, kejahatan ekonomi dan cyber crime. Kunci dari program kegiatan tersebut tercantum dalam Work Proggrame (Program Kerja)  termasuk compiling (kompilasi) dan pertukaran perundang-undangan dalam berbagai area kejahatan transnasional, kompilasi focal point, membangun database, dan persiapan studi dari masing-masing negara. ASEAN juga mengorganisir beberapa kegiatan, termasuk workshop maupun lokakarya tentang trafficking, terorisme dan sea-piracy.
Namun, masalah transnasional yang ada di Asia Tenggara semakin diperparah oleh munculnya ekstrimisme militan selama 1990-an. Setelah peristiwa Bom Bali pada 12 Oktober 2002, memerangi terorisme merupakan fokus utama di wilayah tersebut. Dalam upaya memerangi terorisme, anggota ASEAN menyatakan kesediaannya untuk saling bekerjasama yang terwujud dalam adanya deklarasi bersama. Beberapa perjanjian telah terwujud, seperti Declaration on Joint Action to Counter Terrorism yang dikeluarkan pada  November 2001 dan yang kedua ialah Declaration on Terrorism yang ditandatangani saat KTT ASEAN pada November 2002. Selain dari kedua perjanjian tersebut, masih banyak perjanjian-perjanjian lainnya.

b)     Mekanisme ASEAN untuk menangani konflik antar-wilayah dan antar-negara
Konflik antar negara di Asia Tenggara sudah menjadi kekhawatiran sendiri sejak ASEAN didirikan. Jumlah konflik antar negara menjadi semakin banyak. Kebanyakan konflik yang terjadi merupakan konflik yang berkepanjangan dan berbasis ekonomi termasuk masalah sengketa perbatasan, batas air dan territory / wilayah. Termasuk juga masalah sengketa Sabah antara Filipina dan Malaysia, sengketa perbatasan antara Thailand dan Kamboja dan juga beberapa klaim kepulauan seperti kasus Spratly oleh Malaysia, Vietnam serta Filipina.
Penyelesaian secara damai telah ditekankan di ASEAN, juga terdapat beberapa mekanisme formal untuk menangani masalah seperti sengketa antar wilayah yang telah dikembangkan di TAC 1976. TAC[2] atau Treaty Amity and Cooperation merupakan perjanjian persahabatan dan kerjasama dalam lingkup Asia Tenggara yang melibatkan pihak ketiga apabila terjadi konflik. TAC sendiri adalah norma kunci yang mengatur hubungan antar negara dan instrumen diplomatik dalam penyelesaian masalah di kawasan ASEAN. TAC sebagai kunci dokumen ASEAN yang juga mengacu pada aturan dan prosedur dalam Asean Vision 2020, Declaration of ASEAN Concord II (Bali Concord II), Vientiane Action Programme, dan ASEAN Charter.  Awalnya traktat / perjanjian ini hanya berlaku bagi negara-negara anggota ASEAN saja, namun kemudian setelah adanya amandemen dalam bentuk protokol pada tanggal 15 Desember 1987, traktat ini kemudian menjadi terbuka untuk diaksesi oleh negara-negara di luar ASEAN . TAC merupakan instrumen diplomatik regional yang dapat memperkuat peranan ASEAN dalam menjaga perdamaian regional dan keamanan. Prinsip-prinsip yang terkandung di dalam TAC telah menjadi kode etik dalam menangani isu-isu regional maupun mengatur hubungan antara negara-negara ASEAN dan kawasan lainnya. Oleh karena itu, pengaksesian TAC oleh negara-negara selain anggota ASEAN dapat membantu dalam membangun keprcayaan antar bangsa dan mempromosikan perdamaian serta keamanan regional.
TAC menegaskan komitmennya untuk “penyelesaian perbedaan atau perselisihan secara damai” dan “ penolakan penggunaan kekuatan dan ancaman”. Salah satu metode penyelesaian sengketa secara damai yang diatur oleh TAC adalah Pacific Settlement of Disputes. Metode ini memberikan tanggung jawab bagi tiap negara peserta untuk mencegah timbulnya sengketa yang dapat mengancam kedamaian kawasan. Berdasarkan prosedur regional, negara-negara peserta harus mendirikan sebuah badan tambahan yang bernama High Council, yang terdiri dari perwakilan pada tingkat menteri dari tiap-tiap negara peserta. Bila sengketa yang terjadi tidak dapat diselesaikan melalui negosiasi, High Council bertanggung jawab untuk memberikan rekomendasi pada pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perselisihannya melalui jalur yang paling sesuai seperti good offices, mediasi, permintaan keterangan, ataupun konsiliasi.

C.    Implikasi Human Security di ASEAN
Pendekatan human security memiliki terobosan yang signifikan di konteks Asia Tenggara. Keamanan diartikan sebagai kebebasan dari rasa takut atau ancaman serta kebebasan dari suatu keinginan, maka dari itu semua aktor dalam masyarakat harus saling berinteraksi untuk menangani berbagai jenis ancaman, baik internal maupun eksternal. Keamanan tidak dapat diberikan hanya oleh beberapa aktor dari masyarakat, seperti negara atau aktor dari luar masyarakat. Keamanan tidak bisa dicapai dengan sendirinya, untuk itu keamanan harus menjadi perhatian bagi seluruh masyarakat, terlepas dari status sosial mereka, jenis kelamin, etnis, dan agama
Dalam konteks Asia Tenggara, prinsip paling mendasar dalam human security perlu ditinjau kembali terutama dalam rangka untuk menilai kembali hubungan antara negara dan rakyat. Dibutuhkan strategi ‘protection’ atau  'perlindungan' dan strategi ‘empowerment’  atau 'pemberdayaan' untuk mencapai human security. Namun, perlindungan dan pemberdayaan sendiri tidak membentuk suatu hubungan kerjasama antara orang-orang yang seharusnya melindungi rakyat dan mereka yang diberdayakan. Jadi, sangat penting untuk menemukan cara mengembangkan hubungan antara keduanya. Pencapaian ini akan menjadi penentu dalam mewujudkan human security.
Dalam upaya untuk mencapai hubungan tersebut, diperlukan adanya negosiasi. Berbagai keputusan yang dibuat oleh para elit di Asia Tenggara berhubungan erat dengan kepentingan ekonomi serta bisnis dari masing-masing negara. Dengan demikian, upaya untuk mencapai human security akan membutuhkan keseimbangan antara kepentingan ekonomi / bisnis dan kebutuhan masyarakat. Keterbatasan sumber daya dan kesenjangan sosial yang ada di masyarakat Asia Tenggara memerlukan identifikasi yang lebih cermat dari suatu prioritas kebijakan agar dapat  memenuhi kebutuhan masyarakat terutama masyarakat yang sangat rentan dan membutuhkan. Tanpa transparansi dan skala prioritas dalam menentukan suatu kebijakan, maka keamanan manusia atau human security bagi masyarakat yang paling rentan dan membutuhkan tidak akan dapat dicapai. Dalam jangka panjang, jika proses pembuatan kebijakan tidak partisipatif dan transparan, legitimasi politik pemerintah juga akan dipertanyakan. Selain itu, pencapaian keamanan juga membutuhkan usaha kerjasama oleh seluruh aktor di semua tingkat masyarakat, dibutuhkan partisipasi yang setara dalam pengambilan keputusan, transparansi, dan proses akuntabel dalam pengambilan keputusan.

III.             Kesimpulan
Salah satu fitur penting dari pendekatan human security adalah peran masyarakat. Keamanan dalam masyarakat yang membutuhkan interaksi antara aktor-aktor dalam masyarakat, termasuk orang-orang, negara dan berbagai asosiasi. Untuk mencapai keamanan manusia memerlukan kemitraan antara sektor swasta dan kelompok-kelompok bisnis, dimana masyarakat sipil mungkin kadang-kadang merasa tidak puas atas pelaksanaan kekuasaan negara. Dalam banyak kasus di masa lalu, negara itu sendiri menjadi penyebab utama ketidakamanan manusia.
Masalah di sini adalah tentang keseimbangan yang tepat terhadap hak-hak dan kewajiban dari semua elemen dalam masyarakat, pemerintah, dan individu-individu yang sama. Organisasi regional maupun internasional harus memiliki ruang untuk mendukung upaya masyarakat untuk mencapai beragam tingkat human security baik itu nasional, regional, dan internasional. Ini tidak dapat dipisahkan dalam dunia kontemporer.
Human security tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, seperti anggapan tanggung jawab untuk melindungi, meskipun pemerintah merupakan badan utama untuk melindungi keamanan rakyat. Masyarakat juga memainkan peran penting dalam mencapai keamanan. Namun, tanggung jawab orang dan masyarakat harus diatasi juga. Masyarakat seharusnya untuk menilai ancaman mereka dan kadang-kadang perlu untuk meminta perlindungan dari negara. Tanggung jawab orang dan masyarakat-untuk mengenali ancaman dan mencari langkah-langkah yang diperlukan untuk menangani mereka – menentukan apakah masyarakat dapat memiliki mekanisme perlindungan fungsional ketika muncul ancaman.
Pertimbangan ini menunjukkan bahwa keamanan manusia adalah tentang apa yang dimiliki masyarakat dan kualitas masyarakat yang ditentukan oleh anggota masyarakat, negara dan orang-orang yang sama, yang bertanggung jawab untuk itu. Human security, kemudian, tergantung hanya pada kualitas negara tetapi juga kualitas anggota-apakah atau tidak anggota masyarakat prihatin dengan keamanan individu dan tindakan untuk mencapainya. Setiap orang harus mengenal keselamatan yang orang lainnya, serta keamanan sendiri, dalam masyarakat ia milik, yang memungkinkan anggota masyarakat untuk mencegah, bereaksi, dan mencari bantuan, ketika diperlukan, untuk menangani ancaman keamanan muncul atau aktual. Sementara kualitas negara memiliki efek yang signifikan dan menentukan dalam mencapai keamanan manusia, kualitas anggota sama pentingnya ketika mencari cara mengubah struktur sosial yang tidak adil dan mempertahankan perubahan positif. Utilitas konsep keamanan manusia dalam masyarakat Asia Tenggara dalam praktek tergantung pada apakah atau tidak fokus strategis upaya untuk mencapainya dapat melampaui kerangka.   
 



[1] Deklarasi Concord 1976 atau biasa dikenal dengan Bali Concord 1  merupakan kesepakatan kerjasama dengan negara-negara anggota yang meliputi aspek politik, keamanan, ekonomi, oerdagangan, pariwisata dan lainnya.

Kamis, 13 Oktober 2016

Yayasan Cinta anak Bangsa (YCAB)



YAYASAN CINTA ANAK BANGSA (YCAB)

Berdasarkan jarak politik dengan pemerintah NGO dibagi atas tiga level, yaitu high level partnership, high level politic dan empowerment at the grassroot. Fokus kelompok kami pada empowerment at the grassroot.

NGO Empowerment at the grassroot adalah organisasi non-pemerintah yang berfokus pada bidang pemberdayaan masyarakat bawah. Pada umumnya kasus yang paling sering ditangani NGO Empowerment at the grassroot adalah kasus pemberdayaan perempuan dan anak-anak.  Fokus utama dari paper kami adalah NGO YCAB (Yayasan Cinta Anak Bangsa). YCAB merupakan satu-satunya NGO asal Indonesia yang masuk dalam jajaran 50 besar NGO terbaik didunia, yaitu pada perikat ke 49 dari 500 NGO di dunia, yang mengungguli dua  NGO ternama seperti World Vision (UK) dan Greenpeace (Netherland). YCAB sendiri adalah sebuah organisasi independen non-profit di Indonesia yang didirikan pada bulan Agustus tahun 1999 oleh Veronica Colondam dan menjadi organisasi global pada tahun 2012 melalui YCAB Internasional. YCAB Internasional berkantor pusat di New York dan terdaftar sebagai organisasi non-profit yang memiliki fasilitas pengurangan pajak (tax deduction) melalui section 501 (C) (3).  Dari kegiatannya  YCAB mendapatkan pengakuan dari UN-ECOSOC special consultative status dan mendapat penghargaan sertifikasi ISO 9001:2008.
Fokus YCAB foundation pada isu remaja melalui tiga pilar yaitu kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi.  Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang membantu remaja untuk memilih gaya hidup sehat termasuk hidup bebas narkoba, pacaran sehat, lifeskills, kepemimpinan, dan pendidikan untuk remaja putus sekolah melalui Rumah  Belajar  dan Rumah Ketrampilan. Sampai tahun 2012 program-program YCAB foundation telah memberikan dampak kepada lebih dari dua juta orang di Indonesia.

Program kerja YCAB ada tiga pilar, yaitu : 

1.      Healthy Lifestyle Promotion (HeLP). HeLP adalah pilar pertama YCAB yang mempromosikan gaya hidup sehat pada remaja disekolah. Program ini bermula dari kampanye anti narkoba dan HIV/AIDS dan kemudian berkembang menjadi program-program kepemimpinan remaja dan penggiatan remaja untuk berbuat sesuatu yang positif dalam hidupnya, melalui program dosomething. Setiap tahun HeLP menjangkau dari 120.000 remaja melalui program teman sebaya yang dikenal dengan program Ripple.
2.      House of Learning and Development (HoLD). HoLD adalah program Rumah Belajar yang didirikan pertama kali tahun 2003. Remaja yang putus sekolah dan mereka yang mau melanjutkan pendidikan dapat mendaftar untuk mengambil program Paket A, B, C. Rumah Belajar juga menyediakan laboratorium komputer dan laboratorium Bahasa Inggris yang diwajibkan bagi semua murid program paket, namun terbuka bagi masyrakat umum lainnya. Sampai saat ini, ada 47 Rumah Belajar yang beroperasi dilebih dari 30 kota dan kabupaten Indonesia memberikan kesempatan pendidikan kepada lebih dari 5000 remaja yang ingin melanjutkan sekolah. Dari Rumah Belajar terdapat 5 unit Mobil Belajar yang merupakan laboratorium komputer keliling yang melayani murid di daerah kumuh dan tertinggal.
3.      Hands-on Operation of Entrepreneurship (HopE). HopE adalah pilar pemberdayaan ekonomi dan pendidikan vokasi melalui Rumah Ketrampilan yang tersebar dilima lokasi di wilayah Jabodetabek. Pemberdayaan ekonomi diberikan kepada lulusan Rumah Belajar dan ibu dari murid Rumah Belajar dalam bentuk bantuan kredit mikro untuk meningkatkan penghasilan keluarga. Pemberdayaan ekonomi yang diberikan kepada lulusan Rumah Belajar biasanya berupa pendidikan untuk meningkatkan kesiapan kerja dan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan. Program kredit mikro untuk ibu ini dilaksanakan oleh Koperasi YCAB. Rumah Ketrampilan menawarkan lima jenis ketrampilan vokasi yaitu : menjahit (Rumah Menjahit), reparasi eletronik (Rumah Teknik), salon (Rumah Cantik), montir (Rumah Mekanik) dan hospitality untuk ketrampilan melayani di restoran.

Bekti Maulana, Tak Lelah Ajak Masyarakat untuk Peduli Lingkungan

Kota  Yogyakarta , salah satu kota yang punya sejuta pesona. Kota terbesar keempat di wilayah Pulau Jawa bagian selatan ini merupakan kota y...