I.
Pendahuluan
Persoalan mengenai Human Security menjadi masalah yang sekarang banyak dibicarakan bukan hanya dalam lingkup domestik tetapi juga oleh dunia internasional. Masalah ini juga kemudian menjadi salah satu pilar penting dari 3 pilar ASEAN Community yaitu Ekonomi, Sosial-Budaya, dan Keamanan. Seperti halnya pada bidang ekonomi yang berfokus pada usaha untuk mempersempit kesenjangan pembangunan di kawasan ASEAN dengan membantu anggota baru di bidang kemiskinan, buta huruf , dan kesehatan. Sedangkan dalam bidang keamanan sendiri peran ASEAN lebih berfokus pada target-target masalah keamanan manusia, seperti promosi hak asasi manusia, pencegahan konflik, dan rekonstruksi pasca konflik. ASEAN akan terus menjadi media penting untuk membentuk pandangan umum dan mengidentifikasi bidang kerjasama yang diperlukan untuk mencapai keamanan manusia di kawasan Asia Tenggara.
Sejak tahun 1990-an ketika ASEAN mencapai keanggotaannya yang kesepuluh, perhatian ASEAN kemudian mulai lebih banyak kepada usaha untuk memperbaiki sumber daya manusia akibat konflik, kejahatan transnasional, dan pelanggaran hak asasi manusia di Asia Tenggara sendiri. Di satu sisi, upaya yang sedang berlangsung untuk membentuk suatu badan HAM ASEAN yang melambangkan pencapaian ASEAN yang memusatkan perhatian pada pembangunan rakyat. Namun di sisi lain, ASEAN menuai banyak kritikan dari dunia internasional karena hanya sedikit mengambil tindakan nyata pada konflik dan situasi yang terjadi di Myanmar, di mana pelanggaran HAM banyak terjadi.
Seperti halnya banyak negara di wilayah lain, sebagian besar negara di Asia Tenggara telah menuai kritik atas pelanggaran hak asasi manusianya, meskipun bervariasi dalam lingkup dan jenis, hal ini jelas merupakan ancaman terhadap keamanan manusia. Pelanggaran ini terjadi dalam konteks lintas batas serta internal. Kurangnya forum umum untuk membahas isu-isu hak asasi manusia serta mesin penegakan hukum yang kuat untuk menangani pelanggaran telah menjadi kendala utama untuk memajukan hak asasi manusia di Asia Tenggara. Oleh karena itu, masukan banyak diterima ASEAN pada tahun 2007 untuk membentuk suatu badan hak asasi manusia di ASEAN Charter. Upaya ini konsisten dengan penekanan ASEAN pada pendekatan yang berpusat pada rakyat. Namun, dalam konteks ASEAN, apakah itu benar-benar dapat mengatasi situasi hak asasi manusia mengingat sebuah istilah orang-orang yang berorientasi nilai dalam arti yang sebenarnya.
Mekanisme HAM sudah lama terlambat di Asia Tenggara, di mana kasus berlimpah terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan upaya keamanan diserukan oleh orang-orang setiap hari. Sementara pemerintah di Asia Tenggara memiliki pandangan berbeda mengenai hak asasi manusia. Upaya untuk membentuk badan hak asasi manusia sendiri tujuannya adalah untuk tidak menilai catatan hak asasi manusia dari pemerintah, melainkan untuk menganalisis proses regional dalam melindungi dan mempromosikan hak asasi manusia untuk mencapai tujuan akhir dari keamanan manusia itu sendiri.
II. Pembahasan
A. Pengembangan
Agenda Hak Asasi Manusia di ASEAN
Negara-negara
anggota ASEAN (Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand)
mengambil bagian di Pertemuan Regional pada bulan April untuk Asia dari
Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia di Bangkok dan pada bulan Juni
dalam Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia
di Wina . Dalam Komunikasi Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN ke-26 di Singapura
pada bulan Juli 1993 , menteri luar negeri dari negara-negara anggota
mengumumkan pandangan kolektif mereka mengenai hak asasi manusia. Mereka
menegaskan komitmen ASEAN dan menghormati hak asasi manusia dan kebebasan
fundamental sebagaimana diatur dalam Deklarasi Wina, menyambut konsensus
internasional yang dicapai selama Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia.
Mereka menekankan bahwa "ASEAN mengakui bahwa hak asasi manusia saling
terkait dan tak terpisahkan”.
ASEAN setuju bahwa harus mempertimbangkan pembentukan
mekanisme regional yang sesuai pada HAM. 12 anggota negara menekankan bahwa
promosi dan perlindungan hak asasi manusia tidak boleh dipolitisasi. Namun, di
tahun-tahun setelahnya tidak ada usulan konkret dibuat dan isu hak asasi
manusia menghilang. Kerjasama ASEAN berfokus pada isu-isu lain setelah penataan
kembali ASEAN dengan anggota baru yaitu Vietnam (1995), Laos, Myanmar (1997),
dan Kamboja (1999). Termasuk Chalermpalanupap, Asisten Khusus Sekretaris
Jendral ASEAN merasa bahwa hilangnya pernyataan tentang hak asasi manusia di
ASEAN adalah sebagian karena peningkatan keragaman politik menyusul masuknya
anggota baru. Selain itu, tahun 1997 Krisis keuangan menciptakan tantangan baru
dan serius bagi daerah. Mendesak masalah untuk ASEAN pada waktu itu mendirikan
kembali stabilitas ekonomi dan mempersempit kesenjangan pembangunan di kawasan
ini.
Pada tahun 1998, bertepatan dengan peringatan
ulang tahun ke 50 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, ASEAN mengusulkan
program yang membahas beberapa isu tentang HAM dalam rencana aksi Hanoi, sebuah
rencana aksi lima tahun memanjang 1999-2004. Komitmen ASEAN mempromosikan HAM
dan langkah-langkah untuk membangun hak mekanisme manusia yang dibuat dalam
dokumen kebijakan Vientiane Action
Programme (VAP) yang diadopsi pada tahun 2004, rencana induk tujuh tahun
pertama untuk membangun Komunitas ASEAN. Dalam VAP, kerjasama tentang HAM
adalah bagian dari perkembangan politik di Komunitas Politik-Keamanan ASEAN.
VAP termasuk merumuskan dan mengadopsi nota
kesepahaman (MOU) untuk membangun jaringan antara hak asasi manusia yang ada
dengan mekanisme yaitu membangun jaringan kerjasama antar nasional dan
mekanisme HAM di Indonesia,Malaysia, Filipina, dan Thailand yaitu mempromosikan
pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia untuk perlindungan
dan promosi hak-hak pekerja migran dan membangun komisi ASEAN untuk
mempromosikan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak.
Ada perubahan yang bisa dimengerti dalam
sikap ASEAN terhadap tindakan untuk meningkatkan hak asasi manusia. Barulah
pada 2007 yang komitmen ASEAN untuk mempromosikan dan melindungi HAM terbukti
melalui penciptaan Piagam ASEAN. Selain pada Pasal 14, yang menegaskan
pembentukan hak asasi manusia. Piagam
membahas promosi dan perlindungan hak asasi manusia di bagian yang berbeda
seperti tujuan, dan prinsip-prinsipnya.
ASEAN telah mulai untuk memulai sebuah
rencana tindakan melalui fungsional kerjasama untuk mempromosikan dan
melindungi hak-hak perempuan, anak-anak, dan pekerja migran. Pada KTT ke-12
ASEAN di Cebu , Filipina pada Januari 2007, para pemimpin sepuluh negara
anggota ASEAN menandatangani Deklarasi ASEAN tentang Perlindungan dan Hak-Hak
Migran. Perjanjian ini menyebabkan penciptaan Komite ASEAN pada Pelaksanaan
Deklarasi Cebu pada tahun 2007 selama ASEAN
Ministerial Meeting ( AMM ) ke-41 di Singapore. Salah satu tugas penting
yang diberikan adalah mengembangkan instrumen hukum ASEAN untuk melindungi dan
mempromosikan hak-hak pekerja migran.
Demikian pula , Komite ASEAN pada Perempuan
telah bekerja untuk membangun Komisi ASEAN di Promosi dan Perlindungan Hak
Perempuan dan Anak. Penyusunan
persyaratan untuk komisi yang diusulkan dimulai pada tahun 2009. Proses ini memiliki keuntungan menyediakan
platform bersama melalui Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Konvensi Hak Anak ( CRC ),
yang semua sepuluh ASEAN negara-negara anggota merupakan pihak. Pada tahun
2009, banyak kemajuan telah dibuat untuk meluncurkan sebuah badan HAM ASEAN .
B. ASEAN
dan Manajemen Isu-isu Transnasional
Kerjasama
ASEAN dalam menghadapi tantangan isu-isu transnasional telah menjadi bagian
dari agenda regional / wilayah sejak saat itu didirikan. Kejahatan
transnasional, trafficking
(perdagangan), dan aksi-aksi terorisme bukanlah hal yang baru lagi di wilayah
tersebut. Oleh karena itu, salah satu prinsip mendasar dari ASEAN yang tertuang
dalam Deklarasi Bangkok termasuk “ Memperkuat
dasar bagi masyarakat yang makmur dan damai dalam negara-negara Asia Tenggara” (Deklarasi
Bangkok, 1967). Tantangan isu-isu transnasional merupakan
bagian dari agenda dalam ASEAN Charter. Salah satu tujuan dicetuskannya ASEAN
Charter adalah “ untuk merespon secara aktif, sesuai dengan prinsip dari
keamanan yang komprehensif, untuk segala bentuk ancaman, kejahatan
transnasional dan tantangan lintas batas” (ASEAN 2007
: Pasal 1-8). Kerjasama dalam konteks hukum internasional
adalah cara terbaik untuk menanggulangi setiap jenis kejahatan transnasional.
Hasil dari kerjasama antar negara-negara ASEAN dapat menjadi keberhasilan
tersendiri bagi negara anggota ASEAN.
a) Tantangan
ASEAN terhadap isu-isu transnasional dan konflik antar negara
ASEAN mulai mengatasi kejahatan transnasional
secara kooperatif pada awal tahun 1970 yang ditandai dengan kenaikan kejahatan
narkoba di wilayah tersebut. Deklarasi ASEAN Concord tahun 1976[1]
yang mengakui perlunya “ intensifikasi kerjasama antara negara-negara anggota
dan dengan badan-badan internasional untuk mencegah dan memberantas
penyalahgunaan narkoba dan perdagangan ilegal narkoba”. Sejak dulu, ASEAN telah
terlibat dalam upaya menciptakan wilayah ASEAN yang bebas narkoba. Seiring
berjalannya waktu, ruang lingkup dari isu-isu transnasional sendiri diperluas
dan mencakup beberapa isu-isu lainnya seperti terorisme, jenis baru dari
penyalahgunaan narkoba dan perdagangan, money laundering atau kegiatan
pencucian uang dan munculnya arms
smuggling atau biasa disebut dengan penyelundupan senjata. Aksi-aksi
teroris telah menjadi perhatian utama bagi beberapa negara khususnya di
Indonesia sendiri serta Thailand dan Filipina.
Munculnya isu-isu transnasional yang semakin
beragam membuat ASEAN merencanakan beberapa program untuk menangani masalah
tersebut. Adanya Informal Summits atau KTT pertama di tahun 1996 dan yang kedua
pada tahun 1997 , kedua pertemuan tersebut lebih membahas mengenai kerjasama-kerjasama
regional yang lebih ditekankan untuk menangani isu transnasional. Hasil dari
pertemuan KTT yang kedua adalah direncanakannya ASEAN Vision 2020 dimana
dibentuknya ASEAN Community tahun 2020 yang memiliki 3 pilar yaitu ASEAN
Political Security Community (ASPC), ASEAN Economic Community (AEC) dan ASEAN
Socio-Cultural Community (ASCC). Pada KTT ketiga, di Manila pada November 1999,
negara-negara anggotamenegaskan kembali komitmennya untuk bekerjasama dalam
menangani isu transnasional, seperti yang berhubungan dengan Lingkungan,
Transboundary haze, kejahatan transnasional, narkotika, imigrasi dan masalah
hukum lainnya.
Negara-negara anggota ASEAN juga
menandatangani Deklarasi tentang Kejahatan Transnasional di tahun 1997.
Deklarasi tersebut berbasis pada kerangka kerja dalam kerjasama regional untuk
memerangi kejahatan transnasional. Sejak itu, pertemuan rutin untuk membahas
mengenai masalah tersebut terus diselenggarakan, seperti ASEAN Ministers
Meeting on Transnational Crime dan Senior
Officials Meeting on Transnasional Crime , yang selanjutnya diakhiri dengan
Program Kerja untuk mengimplementasikan ASEAN Plan of Action yang diadopsi di tahun 2002 pada Annual Senior Officials Meeting on
Transnasional Crime. Terdapat 8 area prioritas yang termasuk dalam program
kerja,
seperti : Perdagangan obat terlarang, Human Trafficking, arms
smuggling, Sea-piracy
(Pembajakan), pencucian uang, terorisme, kejahatan ekonomi dan cyber crime. Kunci dari program kegiatan
tersebut tercantum dalam Work Proggrame
(Program Kerja) termasuk compiling
(kompilasi) dan pertukaran perundang-undangan dalam berbagai area kejahatan
transnasional, kompilasi focal point, membangun database, dan persiapan studi
dari masing-masing negara. ASEAN juga mengorganisir beberapa kegiatan, termasuk
workshop maupun lokakarya tentang trafficking,
terorisme dan sea-piracy.
Namun, masalah transnasional yang ada di Asia
Tenggara semakin diperparah oleh munculnya ekstrimisme militan selama 1990-an.
Setelah peristiwa Bom Bali pada 12 Oktober 2002, memerangi terorisme merupakan
fokus utama di wilayah tersebut. Dalam upaya memerangi terorisme, anggota ASEAN
menyatakan kesediaannya untuk saling bekerjasama yang terwujud dalam adanya
deklarasi bersama. Beberapa perjanjian telah terwujud, seperti Declaration on Joint Action to Counter
Terrorism yang dikeluarkan pada November
2001 dan yang kedua ialah Declaration on
Terrorism yang ditandatangani saat KTT ASEAN pada November 2002. Selain
dari kedua perjanjian tersebut, masih banyak perjanjian-perjanjian lainnya.
b) Mekanisme
ASEAN untuk menangani konflik antar-wilayah dan antar-negara
Konflik antar negara di Asia Tenggara sudah
menjadi kekhawatiran sendiri sejak ASEAN didirikan. Jumlah konflik antar negara
menjadi semakin banyak. Kebanyakan konflik yang terjadi merupakan konflik yang
berkepanjangan dan berbasis ekonomi termasuk masalah sengketa perbatasan, batas
air dan territory / wilayah. Termasuk juga masalah sengketa Sabah antara
Filipina dan Malaysia, sengketa perbatasan antara Thailand dan Kamboja dan juga
beberapa klaim kepulauan seperti kasus Spratly oleh Malaysia, Vietnam serta
Filipina.
Penyelesaian secara damai telah ditekankan di
ASEAN, juga terdapat beberapa mekanisme formal untuk menangani masalah seperti
sengketa antar wilayah yang telah dikembangkan di TAC 1976. TAC[2]
atau Treaty Amity and Cooperation merupakan
perjanjian persahabatan dan kerjasama dalam lingkup Asia Tenggara yang
melibatkan pihak ketiga apabila terjadi konflik. TAC sendiri adalah norma kunci
yang mengatur hubungan antar negara dan instrumen diplomatik dalam penyelesaian
masalah di kawasan ASEAN. TAC sebagai kunci dokumen ASEAN yang juga mengacu
pada aturan dan prosedur dalam Asean Vision 2020, Declaration of ASEAN Concord
II (Bali Concord II), Vientiane Action Programme, dan ASEAN Charter. Awalnya traktat / perjanjian ini hanya
berlaku bagi negara-negara anggota ASEAN saja, namun kemudian setelah adanya
amandemen dalam bentuk protokol pada tanggal 15 Desember 1987, traktat ini
kemudian menjadi terbuka untuk diaksesi oleh negara-negara di luar ASEAN . TAC
merupakan instrumen diplomatik regional yang dapat memperkuat peranan ASEAN
dalam menjaga perdamaian regional dan keamanan. Prinsip-prinsip yang terkandung
di dalam TAC telah menjadi kode etik dalam menangani isu-isu regional maupun
mengatur hubungan antara negara-negara ASEAN dan kawasan lainnya. Oleh karena
itu, pengaksesian TAC oleh negara-negara selain anggota ASEAN dapat membantu
dalam membangun keprcayaan antar bangsa dan mempromosikan perdamaian serta
keamanan regional.
TAC menegaskan komitmennya untuk
“penyelesaian perbedaan atau perselisihan secara damai” dan “ penolakan
penggunaan kekuatan dan ancaman”. Salah satu metode penyelesaian sengketa
secara damai yang diatur oleh TAC adalah Pacific
Settlement of Disputes. Metode ini memberikan tanggung jawab bagi tiap
negara peserta untuk mencegah timbulnya sengketa yang dapat mengancam kedamaian
kawasan. Berdasarkan prosedur regional, negara-negara peserta harus mendirikan
sebuah badan tambahan yang bernama High
Council, yang terdiri dari perwakilan pada tingkat menteri dari tiap-tiap
negara peserta. Bila sengketa yang terjadi tidak dapat diselesaikan melalui
negosiasi, High Council bertanggung jawab untuk memberikan rekomendasi pada
pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perselisihannya melalui jalur yang
paling sesuai seperti good offices, mediasi, permintaan keterangan, ataupun
konsiliasi.
C.
Implikasi Human Security di ASEAN
Pendekatan human security memiliki terobosan yang signifikan di konteks Asia
Tenggara. Keamanan diartikan sebagai kebebasan dari rasa takut atau ancaman
serta kebebasan dari suatu keinginan, maka dari itu semua aktor dalam
masyarakat harus saling berinteraksi untuk menangani berbagai jenis ancaman,
baik internal maupun eksternal. Keamanan tidak dapat diberikan hanya oleh
beberapa aktor dari masyarakat, seperti negara atau aktor dari luar masyarakat.
Keamanan tidak bisa dicapai dengan sendirinya, untuk itu keamanan harus menjadi
perhatian bagi seluruh masyarakat, terlepas dari status sosial mereka, jenis kelamin,
etnis, dan agama
Dalam konteks Asia Tenggara, prinsip paling
mendasar dalam human security perlu
ditinjau kembali terutama dalam rangka untuk menilai kembali hubungan antara
negara dan rakyat. Dibutuhkan strategi ‘protection’
atau 'perlindungan' dan strategi ‘empowerment’ atau 'pemberdayaan' untuk mencapai human security. Namun, perlindungan dan
pemberdayaan sendiri tidak membentuk suatu hubungan kerjasama antara
orang-orang yang seharusnya melindungi rakyat dan mereka yang diberdayakan.
Jadi, sangat penting untuk menemukan cara mengembangkan hubungan antara
keduanya. Pencapaian ini akan menjadi penentu dalam mewujudkan human security.
Dalam upaya untuk mencapai hubungan tersebut,
diperlukan adanya negosiasi. Berbagai keputusan yang dibuat oleh para elit di
Asia Tenggara berhubungan erat dengan kepentingan ekonomi serta bisnis dari
masing-masing negara. Dengan demikian, upaya untuk mencapai human security akan membutuhkan
keseimbangan antara kepentingan ekonomi / bisnis dan kebutuhan masyarakat.
Keterbatasan sumber daya dan kesenjangan sosial yang ada di masyarakat Asia
Tenggara memerlukan identifikasi yang lebih cermat dari suatu prioritas
kebijakan agar dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat terutama masyarakat yang sangat rentan dan membutuhkan. Tanpa
transparansi dan skala prioritas dalam menentukan suatu kebijakan, maka
keamanan manusia atau human security bagi
masyarakat yang paling rentan dan membutuhkan tidak akan dapat dicapai. Dalam
jangka panjang, jika proses pembuatan kebijakan tidak partisipatif dan
transparan, legitimasi politik pemerintah juga akan dipertanyakan. Selain itu,
pencapaian keamanan juga membutuhkan usaha kerjasama oleh seluruh aktor di
semua tingkat masyarakat, dibutuhkan partisipasi yang setara dalam pengambilan
keputusan, transparansi, dan proses akuntabel dalam pengambilan keputusan.
III.
Kesimpulan
Salah satu fitur penting dari pendekatan human
security adalah peran masyarakat. Keamanan dalam masyarakat yang
membutuhkan interaksi antara aktor-aktor dalam masyarakat, termasuk orang-orang,
negara dan berbagai asosiasi. Untuk mencapai keamanan manusia memerlukan
kemitraan antara sektor swasta dan kelompok-kelompok bisnis, dimana masyarakat
sipil mungkin kadang-kadang merasa tidak puas atas pelaksanaan kekuasaan
negara. Dalam banyak kasus di masa lalu, negara itu sendiri menjadi penyebab
utama ketidakamanan manusia.
Masalah di sini adalah tentang keseimbangan
yang tepat terhadap hak-hak dan kewajiban dari semua elemen dalam masyarakat,
pemerintah, dan individu-individu yang sama. Organisasi regional maupun
internasional harus memiliki ruang untuk mendukung upaya masyarakat untuk
mencapai beragam tingkat human security
baik itu nasional, regional, dan internasional. Ini tidak dapat dipisahkan
dalam dunia kontemporer.
Human
security tidak hanya
menjadi tanggung jawab pemerintah, seperti anggapan tanggung jawab untuk
melindungi, meskipun pemerintah merupakan badan utama untuk melindungi keamanan
rakyat. Masyarakat juga memainkan peran penting dalam mencapai keamanan. Namun,
tanggung jawab orang dan masyarakat harus diatasi juga. Masyarakat seharusnya
untuk menilai ancaman mereka dan kadang-kadang perlu untuk meminta perlindungan
dari negara. Tanggung jawab orang dan masyarakat-untuk mengenali ancaman dan mencari
langkah-langkah yang diperlukan untuk menangani mereka – menentukan apakah
masyarakat dapat memiliki mekanisme perlindungan fungsional ketika muncul
ancaman.
Pertimbangan ini menunjukkan bahwa keamanan
manusia adalah tentang apa yang dimiliki masyarakat dan kualitas masyarakat
yang ditentukan oleh anggota masyarakat, negara dan orang-orang yang sama, yang
bertanggung jawab untuk itu. Human security, kemudian, tergantung hanya pada
kualitas negara tetapi juga kualitas anggota-apakah atau tidak anggota masyarakat
prihatin dengan keamanan individu dan tindakan untuk mencapainya. Setiap orang
harus mengenal keselamatan yang orang lainnya, serta keamanan sendiri, dalam
masyarakat ia milik, yang memungkinkan anggota masyarakat untuk mencegah,
bereaksi, dan mencari bantuan, ketika diperlukan, untuk menangani ancaman
keamanan muncul atau aktual. Sementara kualitas negara memiliki efek yang
signifikan dan menentukan dalam mencapai keamanan manusia, kualitas anggota
sama pentingnya ketika mencari cara mengubah struktur sosial yang tidak adil
dan mempertahankan perubahan positif. Utilitas konsep keamanan manusia dalam
masyarakat Asia Tenggara dalam praktek tergantung pada apakah atau tidak fokus
strategis upaya untuk mencapainya dapat melampaui kerangka.
[1] Deklarasi Concord 1976 atau
biasa dikenal dengan Bali Concord 1
merupakan kesepakatan kerjasama dengan negara-negara anggota yang
meliputi aspek politik, keamanan, ekonomi, oerdagangan, pariwisata dan lainnya.
[2] http://m.kompasiana.com/TAC/sebuah-perjanjian-multilateral
diunduh pada tanggal 11 Mei 2016